Minggu, 15 Mei 2016

Looking For Fix Buyer for Sana'i tabi'i ahsan Oud

I am Looking For Fix Buyer for My Oud of Sana'i Tabi'i Ahsan. If you interest , Please contact me in Whatapps +62818 623 964 . Minimum Order 50 Kg with Discount for you sell again. Saya sedang mencari pembeli tetap darri timur tengah dan negara saudi arabia. jika anda berminat bekerjasama dengan saya silahkan kontak kami segera di nomor diatas. 

































































-----------------------------------------------------------------------------------------------
Looking For Fix Buyer for Sana'i tabi'i ahsan Oud Praktek dan kinerja dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Kehormatan tidak hanya dengan norma-normanya yang kurang memperhitungkan real politic. Kritik yang dilancarkan terhadap kinerja Badan Kehormatan adalah sulitnya memisahkan politik dan moral. Karena, pemahaman publik tentang politik masih belum didasari atas refleksi pelaksanaan Kode Etik, sehingga seakan-akan etika politik menjadi kurang relevan. Relevansi etika politik terletak pada kemampuannya untuk mengelola kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi-institusi politik yang lebih adil. Dalam hal ini, seorang anggota Badan Kehormatan idealnya menguasai Filsafat Politik, Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum sebagai bentuk refleksi mendalam yang memungkinkan kehidupan politik mengungkap struktur-struktur, makna, dan nilainya secara etis. 
Sistem pengawasan berbasis etika yang dijalankan oleh Badan Kehormatan merupakan hal yang baru dalam struktur politik di Indonesia. Dalam sistem demokrasi, sistem pengawasan berbasis etika ini akan bersikap kritis terhadap manipulasi gagasan, nilai, dan opini yang membuat sulit dibedakannya antara isu dengan fakta. Secara konsisten, Badan Kehormatan berupaya untuk melaksanakan sistem pengawasan berbasis etika dengan berpegang setidaknya pada 3 (tiga) hal, yaitu:
     a.     Badan Kehormatan berusaha mengambil jarak dan kritis terhadap realitas politik;
     b. Badan     Kehormatan senantiasa bekerja untuk melakukan pengujian terhadap nilai-nilai, termasuk nilai-nilai moral dalam Kode Etik; dan
     c.     Badan Kehormatan tetap berada dalam suatu perspektif tentang tujuan Kode Etik diterapkan di parlemen. Dengan demikian, anggota partai politik yang telah dipilih melalui mekanisme Pemilihan Umum dan masuk menjadi anggota parlemen dapat tunduk serta bertindak kolektif berdasarkan Kode Etik dan Peraturan Tata Tertib. Kode etik merupakan perangkat aturan penting dalam menjamin akuntabilitas seorang anggota Parlemen. Kode etik merupakan alat untuk menjamin proses kinerja seorang anggota sudah mencapai standar etika politik yang sehat, yang bebas dari campur aduk kepentingan pribadi, sikap tidak disiplin, korupsi dan kolusi, dan penegasian terhadap peraturan yang berlaku.” Di sisi lain, “Apakah Kode Etik merupakan alat untuk menjamin proses kinerja seorang Anggota parlemen guna mencapai standar etika politik yang sehat?” Ini merupakan pertanyaan etis yang mempunyai relevansi sosial-politik, mengikuti Teori Etika Deontologi (wajib tidaknya perbuatan atau keputusan kita) atau Teori Etika Utilitarisme (berorientasi menyenangkan

Looking For Fix Buyer for Sana'i tabi'i ahsan Oud sebagian besar orang). Tantangan untuk menciptakan aturan Kode Etik yang berfungsi sebagai alat penjamin kinerja, dapat dilihat secara umum sebagai problema yang senantiasa dihadapi oleh Badan Kehormatan Yaitu
:101
1     Problema pertama adalah terkait dengan kinerja Badan Kehormatan dengan suatu misteri keilmuan “Etika dan Hukum” yang belum terbuka. “Badan Kehormatan bergerak dalam wilayah Etika atau wilayah Hukum?” Pendapat semacam ini seringkali dijumpai baik di dalam Dialog, Rapat, maupun Sidang Badan Kehormatan, bahkan senantiasa on going debate di kalangan Anggota Badan Kehormatan. Perdebatan produktif tentang “Etika atau Hukum” berjalan dengan melihat sejumlah ketentuan “perilaku etis” dalam Kode Etik yang berkaitan dengan hukum positif. Misalnya, perilaku menerima imbalan atau hadiah dari mitra kerja yang diatur dalam Kode Etik mempunyai hubungan normatif dengan hukum positif yang mengatur tentang gratifikasi. Sejauh mana Badan Kehormatan akan memproses pengaduan dugaan penerimaan imbalan atau hadiah dari mitra kerja, bila dalam ketentuan Kode Etik itu sendiri juga merujuk kepada hukum pidana mengenai gratifikasi? “Apakah Badan Kehormatan berwenang memutus perkara tentang perilaku menerima imbalan atau hadiah dari mitra kerja, sekaligus perihal gratifikasi?” Tantangan yang terbuka adalah di manakah batasan antara perkara Etik(a) dan perkara Hukum (Positif) itu sebenarnya? Pertanyaan kritis dari dalam Badan Kehormatan sendiri mengisyaratkan adanya problem epistemologis antara status keilmuan Etika dan Ilmu Hukum, dengan batasan kinerja Badan Kehormatan itu sendiri. Untuk sementara, dalam menjawab pertanyaan kritis itu maka diajukan suatu pendekatan yang praktis, teknis, dan proseduralis dalam sistem hukum Amerika Serikat. Melalui penelitian legislatif yang dilakukan National Democratic Institute for International Affairs, dalam sub tema “Hukum Pidana versus Peraturan Etik,” terdapat temuan fakta bahwa:
2    Problema kedua adalah persoalan lanjutan dari persoalan “Etika atau Hukum” pada problema pertama, yaitu kinerja Badan Kehormatan dalam pengambilan keputusan yang bentuk formalnya terwujud dalam bentuk sanksi. Hakikatnya, pengambilan keputusan etik apapun oleh Badan Kehormatan disertai dengan unsur kebebasan. Dalam praktek pengambilan keputusan berupa sanksi, Anggota Badan Kehormatan senantiasa dihimbau oleh nuraninya sendiri untuk tidak berpihak atau tidak terikat pada kepentingan Fraksi baik kepentingan ideologis, pragmatis, maupun praktis. Bersamaan dengan praktek pengambilan keputusan itu, Anggota Badan Kehormatan terlihat harus memanfaatkan seluruh akal budi, kemampuan, dan keahliannya secara bebas dengan suatu rasa tanggung jawab yang luas. Mengapa hal ini dikatakan “harus”? Ketentuan dalam Kode Etik hanya mengatur perilaku dan ucapan tertentu tanpa mempunyai korelasi (hubungan yang kuat). dengan sanksi. Misalnya, terdapat Anggota yang terlibat dalam perilaku

101 Anom Surya Putra, Op. Cit   Hal 2-4
Looking For Fix Buyer for Sana'i tabi'i ahsan Oud dan ucapan yang diskriminatif terhadap suku tertentu di Indonesia. Dalam Kode Etik tidak diatur bahwa perbuatan tersebut merupakan perilaku yang melanggar kewajiban dan dapat dijatuhi sanksi Teguran Tertulis. Akibatnya, Anggota Badan Kehormatan harus bekerja keras untuk menafsirkan seluruh ketentuan dalam Kode Etik berdasarkan data-data yang terungkap dalam penyelidikan, verifikasi, dan Sidang Badan Kehormatan. Seandainya nilai-nilai yang dianut oleh masing-masing Anggota Badan Kehormatan itu tidaklah sama mengenai apa makna kewajiban dan diskriminasi itu, niscaya penjatuhan sanksi merupakan problem psikologis dan sosial atau suatu aksi politik. Hal ini berarti membuat Anggota Badan Kehormatan tidak memiliki kebebasan dalam menjatuhkan sanksi sebagaimana peneliti pahami dalam sisi pandang Etika sebagai ilmu pengetahuan. Padahal, unsur kebebasan dalam praktek pengambilan keputusan etik lebih penting daripada sekedar unsur keharusan melalui penjatuhan sanksi. Pendapat Immanuel Kant yang sebagian besar diapresiasi oleh Filsafat Hukum yaitu tentang kewajiban, selayaknya dihayati sebagai suatu keharusan tanpa syarat. Hal ini lazim disebut Imperatif Kategoris sebagai dasar kehidupan moral manusia. Dalam konteks Imperatif Kategoris, Anggota Badan Kehormatan menjatuhkan sanksi bukanlah untuk mencapai tujuan tertentu (popularitas, misalnya), melainkan sebagai bentuk penghayatan bahwa penjatuhan sanksi itu (juga) baik pada dirinya sendiri sebagai Anggota Badan Kehormatan. Dengan demikian, dalam pengambilan keputusan tersebut, Anggota Badan Kehormatan bebas dalam melakukan penghayatan tentang norma-norma kewajiban dalam Kode Etik. Berbeda halnya dengan adanya unsur keharusan dalam membuat sanksi terhadap Anggota yang dicontohkan di atas, maka seolah terdapat rumus: “Jika menjatuhkan sanksi X, maka Saya harus melakukan Y”. Hal ini lazim disebut Imperatif Hipotesis Problematis. Imperatif ini bukanlah imperatif moral. Dalam contoh di atas, maka tindakan pemberian sanksi digunakan sebagai sarana untuk tujuan tertentu (popularitas, misalnya), dengan syarat-syarat tertentu pula seperti mencari pasal-pasal dalam Kode Etik agar bisa menghukum Anggota parlemen seberat-beratnya. Hal ini kuranglah etis bila dipandang dari sisi pendapat Etika Immanuel Kant. Namun demikian, pendekatan Etika Immanuel Kant sebagaimana sedikit diuraikan di atas belumlah cukup untuk menjernihkan problema rasionalitas pengambilan keputusan terhadap perkara etik.
3.     Problema Ketiga adalah kinerja Badan Kehormatan terkait dengan tata aturan Etika Legislatif yang lebih ketat, seperti Kode Perilaku (code of conduct). Kebutuhan untuk memperbaharui rumusan Kode Etik (code of ethics) merupakan “kebutuhan jangka pendek yang tak-terelakkan”, sedangkan keinginan untuk menyusun Kode Perilaku (code of conduct) adalah “keinginan jangka panjang yang tak dapat diabaikan”.
Badan Kehormatan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya sebagai lembaga penjaga moral  memiliki kendala yang cukup besar hal ini bisa terlihat dari indicator rasional tentang102 :
1    Tata Kerja, tata hubungan penyelenggaraan tugas dan kewenangannya
2    Sikap anggota DPRD dalam     penyampaian pendapat, tanggapan, jawaban dan sanggahan
3    Sanksi dan rehabilitasi

Bertitik tolak dari apa yang telah disebutkan diatas maka menurut penulis Kendala dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Badan kehormatan DPRD disebabkan oleh :
1. Hambatan External yaitu peraturan Perundang-undangan.  Salah satu contoh terlihat dari kelemahan tekhnik penelitian pada Pasal 51 B Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa pemeriksaan dokumen hanya dicukupkan pada bukti formil berupa dugaan tertulis dan identitas pelapor dan juga badan kehormatan melakukan penelitian dan pemeriksaan pengaduan/laporan melalui permintaan keterangan dan penjelasan pelapor saksi dan atau yang bersangkutan serta pemeriksaan dokumen atau bukti lain. Hal ini terlihat bias menimbulkan penafsiran yang berbeda, putusan atau kesimpulan atau rekomendasi etik dari Badan Kehormatan DPRD merupakan keputusan etik dan bukan keputusan politik sehingga tidak perlu ditolak atau diterima dalam Rapat Paripurna DPRD.
102 Mochamad Isnaeni Ramadhan, Peran BK-DPRD dalam Penegakan Etika, makalah disampaikan pada Legislatif Confernce International Network for Regional Development, Jakarta tanggal 8-9 September 2006 Hal. 4
2. Hambatan Internal Anggota badan Kehormatan hal ini tercermin dari kelemahan para anggota Badan Kehormatan yang juga berasal dari internal DPRD yang tentu saja memiliki kecenderungan subjektif dalam penyelenggaraan tugas dan kewenangannya. 
Upaya Badan Kehormatan DPRD dalam penyelesaian Pelanggaran Kode Etik pada DPRD Provinsi Jambi. Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Ketua Badan Kehormatan DPRD Provinsi Jambi tahun 2008 Bapak Drs. H. Haris Fadillah wawancara pada  tanggal 3 November 2008 diperoleh keterangan bahwa DPRD Provinsi Jambi telah melakukan upaya-upaya atau langkah-langkah untuk mengatasi kendala yang terjadi dalam penyelesaian pelanggaran kode etik pada DPRD Provinsi Jambi antara lain dengan  melakukan rapat rutin koordinasi dengan Sekretariat Badan Kehormatan dalam hal absensi kehadiran dewan, proaktif terhadap laporan-laporan masyarakat terhadap anggota dewan yang menyimpang dari Tata Tertib dan Kode Etik yang berlaku, Hal senada juga dikatakan oleh Hj. Rosmeli. M.S.i selaku sekreatriat Badan Kehormatan yang berusaha semaksimal mungkin untuk dapat mendukung Badan kehormatan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Berdasarkan hasil wawancara dan keterangan dari Ketua Badan Kehormatan dan sekretariat Badan Kehormatan melakukan upaya-upaya untuk mengatasi penyelesaian pelanggaran Tata Tertib dan Kode Etik yaitu antara lain:
1    meningkatkan pengawasan yang berbasis etika baik secara internal maupun eksternal terhadap anggota DPRD.
2    proaktif terhadap laporan-laporan yang dapat dipertanggungjawabkan.

3. tidak melakukan intervensi proses peradilan karena tindakan badan kehormatan berada pada wilayah moralitas dengan cara yaitu : 1) meneliti syarat sahnya pengaduan.  2) meneliti perilaku tersebut apakah termasuk dalam perbuatan hukum atau perilaku etik. 3) membuat keputusan seadil-adilnya terhadap Anggota yang sedang berada dalam proses hukum, berdasarkan norma-norma Kode Etik. 
Badan Kehormatan DPRD Provinsi Jambi pada tahun 2006 pernah memberikan peringatan keras terhadap salah satu Pimpinan DPRD (wakil ketua) yang dianggap telah membuat Statmen di media massa atau surat kabar yang dirasakan sangat merugikan dan merusak martabat, kehormatan dan Citra Lembaga DPRD Provinsi Jambi, dan menimbulkan polemik dan demo yang sangat besar ke DPRD Provinsi Jambi. Pimpinan DPRD tersebut juga telah melakukan perbuatan, tingkah laku dan ucapan seorang Pimpinan Dewan tehadap Sekretaris Dewan maupun pegawai sekretariat DPRD pada khususnya dan Pegawai Pemerintah Daerah pada umumnya yang seharusnya tidak pantas dilakukan oleh seorang pimpinan Dewan hal ini sangat bertentangan dengan pelanggaran Tata Tertib dan Kode etik sebagai acuan dalam mengatur perilaku dan ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang atau tidak pantas dilakukan. Badan Kehormatan sendiri telah mengeluarkan memberikan peringatan dan rekomendasi kepada Pimpinan DPRD Provinsi Jambi  dalam hal ini Ketua DPRD untuk mengadakan Rapat Paripurna Khusus tentang  Rekomendasi Badan kehormatan yang mengatakan bahwa Wakil ketua DPRD yang pada saat adalah Suwarno Soerinta dianggap tidak layak lagi menduduki jabatan unsur Pimpinan Dewan. dan pada saat itu hasil rapat Paripurna memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk meminta maaf dan tidak mengulangi perbuatan dan badan kehormatan pun akhirnya mengambil keputusan musyawarah untuk mufakat dan memberikan kesempatan kepada wakil ketua merahabiliatasi nama baiknya. Jika kita liat polemik yang ada di Looking For Fix Buyer for Sana'i tabi'i ahsan Oud DPRD Provinsi Jambi pada waktu itu terlihat sekali bahwa keputusan pimpinan sangat punya kekuatan yang tetap. Padahal semestinya Badan Kehormatanlah yang seharunsya sebagai alat kelengkapan penjaga moral Anggota DPRD terhdap anggota yang telah melanggar Tata Tertib dan Kode etik memiliki ketentuan aturan yang cukup tegas dan independen dari Pimpinan Dewan.    
 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar