Senin, 09 Mei 2016

Jual Sanai Oud Pure

Kami menjual oud sanai pure dengn aroma merauke dan aroma kalimantan. Bagi anda yang berminat silahkan kontak nomor kami di atas:



-------------------------------------------------







































------------------------------------------------------------------------------
Jual Sanai Oud Pure Interaksi dengan Organisasi politik telah terjadi di Jambi sejak mulai berkembangnya Serikat Islam (SI) pada tahun 1915. Proses masuknya Serikat Islam ke daerah Jambi melalui tiga orang mantri pertanian yang dipindahkan dari Solo ke onder- afdeling Bangko yakni Raden Mas Sumorejo, Raden Mas Sumodirono, dan Raden Indrayuda. Pemimpin SI yang populer dikalangan rakyat ketika itu diantaranya ialah : (1) Raden Sumorejo, Presiden SI onderafdeling Bangko; (2) Abdul Manan, presiden SI Jambi; (3) Haji Basyarudin, presiden SI onderafdeling Muaro Bungo; (4) Haji Temanggung Ratu, presiden SI onderafdeling Muara Tembesi.88
Serikat Islam mampu berkembang di Jambi dan berhasil menjadi organisasi yang kuat karena semangat keagamaan atau semangat Islam dalam bidang politik dan ekonomi. SI mampu mewadahi aspirasi rakyat Jambi yang sangat Islamis. Terbukti pada tahun 1916, Serikat Islam di Jambi sudah melakukan perlawanan fisik terhadap pemerintah Hindia Belanda yang dikenal dengan perlawanan Serikat Abang. Perlawanan total rakyat Jambi ini berlangsung selama satu tahun, dengan beberapa  nama tokohnya seperti Abdul Wahid Sri Maharaja Batu, Haji Suud, Duahid bin Dualip, dan Haji Bakri.89
Perang Serikat Abang ini telah meminta korban dari pihak kolonial: 1 controleur, 6 pegawai bumiputera dan 63 polisi, sedangkan di pihak Jambi jumlah korban tewas mencapai 360 orang. Akibat perlawanan itu juga, sebanyak 62 orang dijatuhi hukuman mati 1.287 dijatuhi hukuman 10 hingga 20 tahun penjara dan 1.456 mendapat hukuman penjara singkat.90
Selanjutnya, paham kebangsaan mulai diterima rakyat Jambi antara tahun 1927-1933, yakni sejak adanya pengaruh PNI Baru dan Partindi (Partai Indonesia) lewat pemikiran tokoh-tokohnya seperri Mohammad Hatta dan Ir. Soekarno.91. Tekanan dan hambatan dari pihak Pemerintah Belanda telah
88 Depdikbud, Sejarah kebangkitan Nasional Daerah Jambi, Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Depdikbud, 1978, hal. 58-59. 
89 Mengenai perlawanan Serikat Abang di Jambi, lebih lanjut lihat Jang A. Muttalib, “Suatu Tinjauan beberapa Gerakan Sosial di Jambi pada Perempatan Pertama abad ke 20” dalam Prisma Agustusan 1980, hal 33-35 dan Depdikbud, ibid, hal.60-65.
90 Lihat Jang A. Muttalib, Ibid, hal .35.
91 Depdikbud, Op.Cit Hal.79-80.
Jual Sanai Oud Pure menyebabkan dua partai tersebut sulit berkembang secara oraganisatoris di daerah Jambi, namun propaganda-propaganda para tokohnya telah memberi kesadaran kepada masyarakat Jambi mengenai pergerakan rakyat untuk mencapai kemerdekaan. Kesadaran kebangsaan dan persatuan tersebut memiliki arti penting kegiatan - kegiatan partai yang berasakan kebangsaan.
Beberapa tahun sebelum kemerdekaan Indonesia, tepatnya tahun 1939, Partai Syarikat Islam (PSII) berdiri di Jambi, dipimpin oleh Haji Abdul Roni. Pada tahun tersebut, PSII merupakan satu-satunya partai politik yang ada di daerah Jambi, yang dengan jelas dan tegas memperjuangkan kemerdekaan nasional, atas dasar agama Islam. Partai ini langsung mendapat pengawasan ketat dari pemerintah kolonial, dengan ditempatkannya polisi PID (Politieke Inlichtingen Dienst)  di Jambi.92
Kehadiran PSII ternyata merangsang tumbuhnya partai politik lainnya setahun kemudian, seperti Partai Muslimin Indonesia Jambi yang diketuai oleh Nurmuhammad dan Partai Arab Indonesia cabang Jambi yang diketuai oleh Ahmad As. Perkembangan ini juga diikuti dengan munculnya partai-partai kebangsaan, semisal Partai Indonesia Raya (Parindra) yang cukup berpengaruh di Jambi pada waktu itu. Garis perjuangan Parindra yang tidak membedakan pendirian agama menjadikan partai ini mampu menampung rakyat Jambi yang tergabung di PSII.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, aktivitas politik lokal yang paling
menonjol ialah usaha rakyat Jambi untuk menjadikan daerahnya sebagai
daerah otonom Tingkat I atau Provinsi. Pada awalnya wilayah Jambi masih
92 Ibid, hal.82.
merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Tengah. Usaha ini sudah dirintis sejak masa revolusi fisik, yaitu melalui sidang KNI Jambi pada tahun 1946 dan sidang DPRD Keresidenan Jambi dari tahun 1947-1953. Dalam usaha itu juga dibentuk Badan Kongres Rakyat Jambi (BKRD) yang beranggotan wakil keresidenan, partai politik, organisasi kemasyarakatan, serta para cendekiawan. Akhirnya usaha itu membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No.19 Tahun 1957 tentang pembentukan daerah tingkat I Sumatera Barat, Riau dan Jambi yang kemudian diubah menjadi Unadang-Undang No.61 Tahun 1958.
Kentalnya gerakan bernuansa Islam di Provinsi Jambi pada masa pra kemerdekaan menunjukkan pengaruh Islam sebagai ideologi yang dominan di daerah tersebut.93  Islam yang telah melebur ke dalam nilai–nilai adat semakin memberi ruang berkembangnya politik Islam di Jambi, terutama pada Pemilu Indonesia tahun 1955.
Pada Pemilu tahun 1955, komposisi kekuatan partai politik di Jambi adalah sebagai berikut:94 Masjumi (58%), Partai Nahdhatul Ulama (23%), Partai Nasionalis Indonesia (6%), Partai Nasionalis lain-PIR H (6 %), Partai Komunis Indonesia (3 %), Partai Islam Lain (3%), dan suara non-kursi parlemen (2%).95
93 Kolonialisme mendapat perlawanan berarti dari nilai Islam di tanah Jambi, melalui prinsip amar ma’ruf nahi munkar dan jihad fisabilillah.
94 Provinsi Jambi saat itu masih tergabung dengan Sumatera Tengah, kecuali wilayah Kerinci yang pada tahun 1955 masih menjadi bagian kabupaten Pesisir Selatan/Kerinci yang merupakan daerah Sumatera Barat.  Lihat Kevin Raymond Evans, Sejarah Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, Jakarta: PT. Arise Consultancies, 2003, hal .67. 
Komposisi di atas menunjukkan pola memilih masyarakat Jambi pada
Pemilu 1955 yang mirip dengan masyarakat lain di Sumatera Bagian Tengah
dari segi persentase pemilih yang mendukung partai Islam, yaitu sekitar 84%.
Di awal Orde Baru, yaitu pada pemilu 1971, Golongan Karya sebagai kekuatan sosial Politik baru di Indonesia telah memperoleh suara terbanyak di Jambi dengan 408.331 suara. Disusul oleh NU sebesar 22.077 suara, Parmusi sebanyak 20.004 suara, PSII 4.485 suara, PNI memperoleh 3.043 suara, dan IPKI mendapat 2.040 suara.
Kemunculan Golkar sebagai pemenang pada pemilu pertama Orde Baru tersebut, tidak terlepas dari adanya usaha pemerintah Orde Baru “menggarap” partai-partai politik yang dianggap dapat menghambat kemenangan Golkar dalam Pemilu. Pemerintah melarang berdirinya kembali partai Masyumi yang banyak memperoleh dukungan massa dalam Pemilu 1955 dan hanya mengizinkan pendirian partai dengan nama Parmusi. Itu pun dengan syarat, pimpinan Masyumi yang lama tidak duduk sebagai pengurus Parmusi. Nasib yang sama menimpa Partai Sosialis Indonesia, partai elitis yang anggotanya terdiri atas para intelektual yang berpengaruh.96
Menurut Liddle (1992), pemerintah Orde Baru yang didominasi militer memiliki persepsi yang khas terhadap partai politik, yaitu sebagai “pesaing dalam memperoleh kekuasaan, pemberi pandangan dunia yang lain (ideologi) dan penggerak keresahan rakyat97. Alternatifnya, pemerintah
96 Lihat Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal.209.
97 Wiliam Liddle, Partisipasi dan Partai Politik: Indonesia pada Masa Awal Orde Baru, Jakarta: Grafiti Press, 1992, hal. 133.  
Jual Sanai Oud Pure membesarkan Golongan Karya sambil mengecilkan partai-partai politik. Pilihan ini sangat wajar karena dalam masa Demokrasi Terpimpin, Angkatan Darat telah membangun sebuah koalisi besar dan heterogen yang terdiri atas golongan-golongan fungsional didalam parlemen, yang dikoordinir oleh Sekretariat bersama Golkar sejak tanggal 20 Oktober 196498. Selama Orde Baru, keberadaan Golkar dalam konstelasi politik di Provinsi Jambi sangat dominan karena selalu tampil sebagai pemenang di tiap Pemilu. Perolehan suara Golkar berturut-turut adalah 408.331 (1971), 501.529 (1977), 648.461(1982), 810.320 (1987), 990.581 (1992), dan 1.256.396 (1997).
Untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), memperoleh suara masing-masing 94.054 (1977), 105.840 (1982), 74.541 (1987), 52.564 (1992), dan 81.058 (1977). Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), berturut-turut memperoleh suara sebesar 5.019 (1977), 10.284 (1982), 26.221 (1987), 47.467 (1992), dan 27.019 (1997). Konfigurasi kekuatan partai politik pasca fusi partai selama era Orde Baru lebih jelas dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar